Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Wednesday, October 3, 2012

Mengeja Nama yang Sama, Luka.


Kita saling menularkan rasa. Kita saling menggenapkan hampa. Kita jujur tetapi saling menutupi. Tanpa aku dan kamu sadari, sebenarnya kita saling menyakiti. 

Senja menjelma belantara porakporanda. Selalu bermuara pada air mata yang menyeka abjad luka. Aroma duka menyengat, meraba dusta pesona yang tak juga mereda. Kau membuatku melalang buana, mengembara pendar yang masih saja samar-samar.

Lalu bimbang pulang mengulang-ulang lagi sajaknya. Aku yang masih saja bersandiwara seolah semua baik-baik saja. Menggunakan bahasa yang tak ada bedanya dengan kemarin lusa. Meski kadang kosong menerobos masuk dalam lorong-lorong, mengembangkan sendiri ceritanya. Kisah tanpa tepian.

Ternyata cinta juga bisa jadi garang. Menyerang bagian terdalam ketulusan. Terkadang jadi rancu membisu. Kalau saja bisa, aku mau berhenti bergantung pada lengkung yang tak kunjung bersenandung. Yang ada aku justru tersandung, terasing merenung bersamaan dengan luka yang melambung.

Aku benci pada mendung yang menutupi kilat jingga senja kala. Lalu air merintik melelehkan hujan yang sudah lama tertawan. Menyinggung di petang, sesekali mengerang tak tahan merasakan lengang. Aku merasakan gejolak menghantam sepersekian detik lalu terjungkal, menjatuhkan lagi separuh lara yang tersisa. 

Berebut kilau bintang yang sempat temaram. Aku dan kamu seperti sisa-sisa hujan yang bergutasi pada dedaunan. Penuh perjuangan manahan diri agar tidak jatuh menembus bau humus. Berulang kali aku mengadu pada gaduh yang cukup angkuh. Aku lelah menahan gerah yang masih seperti itu-itu saja. 

Berpelik menukik setiap jengkal pita suara. Rasanya ingin ku tumpahkan segala penat yang mulai jadi pekat mencekat. Di bahumu aku menangis tersedu, di pelukmu aku mau begitu.

Sayang, aku bukan yang akan meminta terlalu banyak penjelasan pada rintik hujan. Mengapa meruncing meneteskan kegelisahan. Mengapa menyebabkan peraduan pelangi padahal senja mulai menjelang. Padahal aku melajang tapi kau mengubah rasanya jadi tenang. Seperti sedang berada pada hubungan yang nyatanya hanya akan meremang, terbuang.

Kamu menjadikan waktu sebagai bagian dari alasan yang menyebabkan perpisahan. Padahal aku mengira waktu lah yang menjadi alasan sebuah pertemuan. Maka berhentilah beralasan sebab meninggalkan tak butuh penjelasan seperti cinta yang tiba-tiba datang, tak pernah punya alasan.

follow me @fasihrdn

Sebab sepertinya rima selalu akan mengurai peristiwa yang itu-itu saja. Sajak yang sama, masih menyebutkan nama serupa. Kamu.



031012~Andai menghapus jejakmu semudah menghapus bagian aku dalam dirimu. Andai aku sama sepertimu, mudah berlogika tanpa perlu terluka. Sepertimu, tanpa lara di dada.

0 komentar:

Post a Comment