Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Thursday, December 23, 2010

PART 3

           Di gerimis pagi yang rebah mengantarkan kakinya melangkah menuju hari yang tak pernah ingin Dea lewati. Derap langkah menggema dalam sejuknya embun yang terbungkus sepi. Matanya yang sembab akibat menangis semalaman temani gerak tubuh mungil Dea menyusuri tangga sekolahnya. Tak satupun senyuman dapat ia temukan, hanya ada Dea dan bayanganya. Tak sabar Dea menunggu Tania. Sudah sesak batinya penuh derita yang ingin segera ia bagi pada sahabatnya itu. gontai langkahnya menuju UKS. Tempatnya membasuh rindu akan cinta  Gilang, kakak kelas Dea yang selalu ia kagumi membawanya terus berkarya dalam tulisan-tulisan tangannya. Pemberi inspirasi terbesar untuk selalu menumpahkan perasaanya, dengan bahasa sederhana yang menguak perihnya mencintai lelaki yang hanya menganggapnya seorang adik. Sempat Dea rasakan segenggam cinta yang Gilang taburkan dalam senyumnya. Sekejap hilang entah mengapa membuat mereka semakin jauh. Tak pernah padam api cinta dalam dadanya, terus mencintai lelaki tampan berbadan kurus itu, walau hanya dengan balutan puisi sederhana yang selalu membingkai perasaannya yang tenang ketika menatap senyumnya yang rekah mengembang. Hanya di tempat inilah Dea dapat menyatukan kepingan kisah yang telah retak tak bernada.  Di sinilah tempat di mana Gilang mengumbar senyum pertamanya yang meluluhkan kerasnya hati Dea saat itu.
Ingin rasanya memutar jarum waktu yang menusuk-nusuk batinnya. Ketika tawa itu bertahta di hatinya, di saat perhatian menata senyumnya. Sirna sudah semua kisah yang terlalu perih tuk dikuak . Bel masuk membuyarkan lamunannya, seketika Dea tersentak kaget tak menyangka sesosok lelaki sedang memperhatikanya dari kejauhan. Dea berdiri kembali ke kelasnya yang sudah ramai dengan suara-suara yang hangat. Kelas delapan D yang awal mulanya sangat Dea benci kini telah berubah menjadi kelas teraman dan selalu membuatnya nyaman ketika berada di dalamnya. Suasana yang begitu akrab sejenak lupakan hatinya yang lelah akan masalah yang ada.
          Tanpa basa-basi Tania menghampiri Dea yang sudah penasaran ingin segera mendengar cerita dari sahabatnya itu.
          “Eh mana smsnya Denya itu?”tanya Tania penasaran.
          “Nih, baca aja. Dasar nggak tau diri tuh anak. Maunya apa sih”tutur Dea kesal.
          Sesaat ketika membaca Tania meneteskan airmata.
          “Hey hey. nggak usah nangis dong. Aku ntar ikutan nangis lagi ni.”ucap Dea kaget melihat Tania yang meneteskan airmatanya, yang kemudian juga membuat dea menangis pedih.
          “Gila ni anak sinting kali yya. nggak tau malu banget!”kata Tania makin kesal.
“Udahlah biarin aja Denya mau gimana. Oya, ternyata gosip aku sama Farel itu udah nyebar ke satu angkatan”Ujar dea pelan.
“Jadi semua anak kelas dua nganggep kamu ada apa-apa sama Farel gitu?”tanya Tania nggak percaya.
“Iya . Kata si Angie anak kelas B itu sih aku tuh temen makan temen gitu”Kata Dea mulai menjelaskan.
“Ihh aku nggak ngerti ya, mereka thu taukan kalo kita itu sahabatan? Kenapa harus dibuat jadi masalah gitu”Tania semakin jengkel pada keadaan yang makin panas.
“Mana si Denya thu minta maaf nggak niat banget. Sumpah ya bener-bener nggak tau diri”Dea ikut emosi.
“Iya emang dari dulu kayaknya . Trus Farel tau nggak?”Tanya Tania.
“Emm, belum. Baru mau cerita. Ahh nanti aja deh”Kata Dea sambil berlalu menuju kamar mandi.
“Eh De . Maaf loh yang kemarin”Ucap Denya yang kebetulan juga sedang di kamar mandi.
“ohh nggak apa”Balas Dea dengan nada datar lalu pergi meninggalkan Denya kembali ke kelas.
***
          Sang surya makin berani saja membakar Jogja, menyengat kulit-kulit, kejam memanggangnya hingga menyerupai kulit kepiting. Dea dan Tania beranjak dari kelas menuju tempat mereka biasanya. Mereka memandang sejenak keheningan suasana yang ditawarkan di sana. Sunyi   Tak berisi.  Dea dan Tania tak peduli dengan itu. Mereka tetap duduk di situ, mungkin menikmati suasana dingin yang membuat mereka membeku. Ada yang kurang di situ. Tak tampak wajah Ira dan Lia. Mereka memang jarang berada di tempat ini karena sudah merasa asing dengan keadaan yang ada. Dea menangkap wajah Denya seperti tak ada yang pernah terjadi. Makin muak, Dea langsung pergi meninggalkan mereka. Tania yang sedang terbayang dalam lamunannya pun ikut beranjak pergi.


***
Angin panas berhembus lemah lembut menyusup tulang rusuk yang telah merapuh. Dea yang sedang memikirkan sesuatu menatap langit dengan iba , rindu berkecamuk dalam kalbu membuat pikirannya melayang-layang tak menentu. Teringat sepenggal cerita pertemuan pertamanya dengan Gilang yang tanpa ia sadari membuat dadanya bergetar menahan sembilu. Sekejap terlintas bayang-bayang semu Farel yang perlahan menggerakkan tangannya untuk menanyakan sesuatu. Lama tak ada balasan dari Farel, pikiran Dea menjadi-jadi. Ia berfikir Farel marah padanya. Namun saat Dea jauh lebih memikirkan hal itu, rasanya tak mungkin bila tiba-tiba Farel marah kepadanya, karena baru saja dea bercerita tentang Denya pada Farel. Tiba-tiba hp Dea bergetar, setelah ia melihatnya ternyata ada balasan dari Farel. Senyum tipis dea mulai mengelopak. Mulai ia membaca isi sms itu. Seketika pucat resahnya, bukan Farel yang membalas smsnya tetapi Angie dan Vittalah yang membalas dengan bahasa yang menikam sukmanya. Binar mata Dea lenyap tak bertahan. Selaksa kecewa pada Farel, Dea merasa Farel sama saja ikut ambil peran menginjak harga dirinya karena mengijinkan mereka berkata seperti itu. Bersedih tanpa kalimat, seperti biasa Dea tuangkan dalam diamnya kata, dalam bungkamnya bahasa. Satu-satunya penyejuk nuraninya jika tersiksa adalah bercinta dengan kata. Menjaganya di kala sepi menghampiri, menepis resah gelisah hatinya.



To be continue...

0 komentar:

Post a Comment