Pada kaki-kaki langit, aku menatap di balik jaring-jaring
penghalang. Duduk menjuntai dengan bola mata yang mondar-mandir mencari muara.
Penghalang besi yang tidak bisa ku tembus meski sudah ratusan kali ku pukul
dengan palu besar. Maka begini saja, caraku melihat rintik hujan yang
meruncing. Menjatuhkan ujungnya pada tanah yang mulai basah. Beberapa menit
kemudaian warna ungu menggenapi riasannya sendiri. Senyumku pecah, aku selalu
suka saat jingga menyuguhkan warna baru di tengah-tengahnya. Pelangi.
Masih lekat dengan sosok yang melangkahkan kaki pada
tarian dengan gerak sunyi di bawah guyuran hujan. Melambai lemah gemulai,
dengan decak-decak di atas dedaunan yang gugur lebih dulu. Desir angin menyempurnakan
melodi yang sedari tadi meniupkan alunan di antara awan-awan hitam yang tampak
mulai terang. Gerakannya mulai diperlambat memutari kerikil-kerikil yang
sepertinya sengaja sudah di susun rapi. Menapak pada raut muka seorang yang
lain, meneteskan gelombang pada butiran hujan yang terlambat datang.
“Awas, ada petir! Jangan terlalu jauh.”
Samar-samar ada suara yang menggema. Jari-jari kecil itu
membalikkan derap langkahnya, menuju sisa-sisa suara tadi. Gigi-giginya yang
berantakan sudah gemetar menggigit bibirnya sendiri. Kedinginan.
“….”
Tak terdengar. Saking derasnya butiran air yang tumpah
ruah. Aku mencoba menengok lebih dalam, merapatkan gendang telinga agar bisa
mendengar jeritan yang melengking terlalu keras. Justru tak terdengar apa-apa.
“….”
“Ha?”
Aku terkesiap, jelaga mengabutkan pandangan yang susah
payah ku intai dari sela-sela semak. Gagap gelagapan, berantakan.
***
Lekuk tubuh “gitar spanyol” dalam cermin berkanvas emas. Bulu
mata lentik, dipercantik riasan eye
shadow berwarna dark silver. Gaun
dengan warna senada dilengkapi berlian melingkar di leher panjang dipenuhi sparkle berwarna keemasan, wanita dengan
rambut hitam panjang tergerai.
“Sempurna!”
Aku tersenyum. Siapa yang tidak terpesona melihat
keanggunan seorang wanita bermata coklat keemasan. Lelaki mana yang tak tergoda
dengan aroma vanilla di sekujur tubuh langsing dengan senyum di sepanjang bibir
merahnya. Sempurna.
Malam dengan lampu-lampu terang di sepanjang jalan
setapak. Melangkah dengan keangkuhan yang tersembunyi di balik sederet senyum
manis yang memusatkan setiap sudut pandang. Karpet merah terlihat lebih meriah,
di lalui d’orsay dengan bunga
berwarna putih menutupi mata kaki seorang putri yang melambaikan tangannya pada
rupa-rupa manusia yang haus akan keindahan.
“Terimakasih,” kataku lembut pada seorang pria dengan tuxedo jacket berwarna putih yang
memberanikan diri memberi satu bucket mawar merah.
Malam dengan sederet pujian panjang, sebelum kembali
datang hujan. Aku kembali, duduk berjuntai. Kali ini dengan cemilan yang baru
saja ku beli di mini market dekat rumah. Ada bintang yang sedang bersapaan
dengan bulan. Lalu yang lain bersenda-gurau membarengi dentang jam yang
berbunyi setiap satu jam sekali. Musik klasik sedari tadi menghasilkan
bunyi-bunyian berirama andante, padahal biolanya tak berdawai. Bagaimana
mungkin bisa mencipta suara yang mengelok di telinga?
Aku menuju ruang tengah. Duduk di tepi ruangan, aku memang
lebih suka menepi. Ada jemari-jemari lembut yang membelai wajah satu sama lain.
Tangan yang lain saling erat menggenggam dalam dekapan. Pelukan panjang yang
hanya bisa ku rasakan dengan mata yang memandang, meliar sendirian.
Sebegitu kejamnya kehidupan sampai tak mengijinkan aku
yang berada di sana. Seperti mereka yang sedang bermesraan dengan alasan yang sama,
cinta. Aku masih memperhatikan, dua anak adam yang meredam bahasa. Cukup dengan
satu tatap mata saja semua juga paham. Ada cinta yang meraung-raung di
antaranya. Bahagia, seperti tak lagi peduli ada masalah-masalah besar di luar
sana. Tak peduli lagi petir menyambar-nyambar. Sudah larut malam, bukankah seharusnya segera pulang?
Aku kembali ke kamar. Butuh istirahat panjang, aku lelah.
Tapi malam terlalu dingin tanpa secangkir kopi hangat. Sepertinya aku masih
punya sebungkus kopi oleh-oleh dari Toraja bulan lalu. Kopi hitam pekat tanpa
gula, sempurna. Seperti menikmati hidup mewah tanpa cinta, terlalu sempurna
mungkin.
“Sudah malam, sayang. Istirahat lah.”
Aku nyaris tersedak. Masih bisa menyuguhkan
kalimat-kalimat semacam itu tengah malam begini.
“Iya, aku juga akan tidur kalau kamu tidur.”
Rasanya ingin ku rebut handphone yang menempel di telinganya. Ingin ku ambil paksa dari
genggaman tangannya. Mengganggu pikiranku saja, batinku. Apa masih jaman, bermesraan tengah malam? Apa masih jaman,
mengingatkan seseorang untuk segera tidur?
Aku menelan ludah. Meninggalkan secangkir kopi yang masih
mengebulkan aroma pekat di atas meja. Tidak perlu lagi kopi untuk
menghangatkan, sudah panas sendiri dibuatnya. Aku masih bergidik geli mengingat
suara-suara tadi. Kantuk tiba-tiba hilang, aku memilih untuk keluar. Menghela
napas panjang, menari di antara udara yang bebas ku hisap tanpa berebut dengan
siapapun. Semua sudah masuk ke alam bawah sadar, tinggal aku yang terjaga.
Terjaga dari kerinduan atas belaian, kasih sayang yang tidak pernah bisa ku
sentuh dengan ketulusan.
9 komentar:
ditunggu part selanjutnya
lanjut cik...
njeh, ditunggu nggeh :)
aku suka diksimu de... ditunggu lanjutannya
terimakasih, iya sabar ya :D
ceritanya bagus,tapi kok cuma part 1 ?
nanti, sabar ada part 2 nya kok :)
Lanjut kak:)
sudah di part 2 :)
Post a Comment