Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Thursday, October 29, 2015

Surat Cinta Bulan Oktober: Jogja Tertinggal di Matamu


Jogja.
Aku masih punya sekepal dendam yang ingin kubenturkan pada waktu lalu. Biar pecah menyerak. Lalu dirubung rayap. Habis tak berjejak pada bekas tapak di tanah becek berbau humus sisa hujan tiap malam. Siapa pula yang suka di-ganduli kegelisahan penghasil obrolan bergolak uring-uringan. Memoar yang selalu menjadi Ifrit, berbisik nyaring di telinga mengajakku untuk selalu kembali pada kesalahan yang sudah aus tahunan lalu. Usang, tapi selalu saja diasah ulang. Lalu bagaimana bisa bentang masa depan kalau selalu sengaja dibayang-bayang? Sudah masanya singgah babak anyar malah ditarik paksa pulang ke pangkuan kausa. 

Siapa yang bisa disalahkan kalau sudah begini?

Oktober.
Dua ribu lima belas menjadi mangsa ketiga kau bersamai waktuku minus satu per satu. Angka di kartu identitasku berubah bilangan, dari belasan menjadi puluhan. Garis kerut memperjelas seraut wajah yang semakin reyot menebalkan cekung hitam di bawah mata yang kian tajam membulat. Kuajaki kau berjalan-jalan di seluruhku siang dan malam sampai sisa remah bulan purnama kau pikir petang senja. Tapi belum cukup waktumu memutari rongga dadaku, kau ketuk degup jantung, lalu bergelayutan di urat nadiku. Menyelami aliran darah sambil berebut udara di sela-sela rusukku. Kau mendesak lambung biar perihnya membukakan jalur pintas menuju hati. Tapi kau sadar betul tak semudah itu. Yang kautemui justru jalan buntu.

Tak ada gang di belakangmu. Pilihannya hanyalah diam di tempat atau maju perlahan dengan upah luka berceceran.

Kau.
Giliranmu sudah usai, biar impas kugambar bukan dengan kuas warna tapi sandi morse anak pramuka. Ada titik pendek bersama garis panjang yang merangkai sebuah kode. Setelahnya masih harus kau analogikan ke dalam bahasa. Kau mesti lihai banyak dialek. Akan kautemui berbagai isyarat tutur kata yang tak lumrah. Membentuk stereotipnya sendiri. Sebab letak kalbu seorang wanita yang merasa mampu tanpa siapapun harus dirobohkan dengan berbagai patois. Kalau kau beruntung, ia tak hanya tunduk tapi juga cinta.

Kuakui kehebatanmu bersabar mengalahkan diri demi bukti penyesalanmu, meski sering aku masih tak percaya. Memekakkan telingamu dengan tuduhan-tuduhan yang selalu sama.

Jarak.
Delapan bulan bukan waktu singkat untuk tatap mata yang saling lupa paras satu sama lain. Mimik muka yang dicuri letusan gunung Karakatau berabad lalu; kau tak lagi mampu menyentuh ujung kuku-ku di tanah Jawa. Aku hanya bisa meraba frekuensi pita suaramu dari gagang telepon genggam. Kau harus punya sayap untuk bisa menjamahku atau paling tidak butuh pesawat terbang untuk mendarat dengan selamat. Kita baru bisa saling menggenggam dengan berenang sampai di pertengahan selat Sunda. Minimal aku harus kuat berlama-lama duduk di kapal bersama ratusan kepala lainnya dengan ancaman muntah-muntah—mabuk laut—demi rindu yang sampai tepat waktu.

Tuhan menguji seberapa tabah aku menanti kabar dan kau betah bersetia pada pilihan yang tidak mudah.

Semoga manfaatnya yang tak putus-putus menjadi amal jariyahmu.

Yogyakarta, 25 Oktober 2015.
Aku sangsi jika bukan denganmu aku bisa sebaik ini membiarkan diri dibawa laju waktu. Tanpa mengeluh aku bosan dengan antarruang yang terlalu panjang. Merentangkan rindu yang terlalu berisiko merenggangkan hubungan; memudarkan perasaan.

Kau acap sekali seperti mengabai usulanku padahal kaulah yang paling keras berupaya mengimbuh diri naik ke tingkat paling tinggi. Meski kau tak rajin menulisku, pun aku tak pernah mendengar kau asik bercerita panjang-lebar tentangku pada tiap-tiap kepala ... tapi kesungguhanmu sampai di mata batinku.

Aku terlampau sering berlaku tak membutuhkanmu padahal doaku selalu berhilir menjamumu. Meski aku tak berkecenderungan mengharuskan Tuhan mengabul jodoh adalah Engkau ... tapi intuisi nyalar membicarakanmu.

Kalau 2013 yang lalu Kau ujar dalam video hadiah ulang tahunku, "hadiah terbaik datang dari sebuah pemahaman" maka buku menjadi pembelajaran terbaik setelah pengalaman. Buku bukan lagi jendela dunia bagiku—kuharap begitu pula bagimu, sebab tiap kalimatnya membubuh laba tanpa modal—yang besar.

Surat yang sampai di tanganku seperti kangen yang diantar ke depan pintu. Aku tak perlu membayar grafolog untuk menjabar ketulusan dalam setiap abjadmu. Suaranya terlalu gamblang mengeras di gendang telinga. Menghadiahi santir rupamu yang tersenyum melelehkan air mata. Siluet kangen yang menubuh tumbuh begitu cepat melalui gerak bola mata. Aku tak kuasa menahannya, rindu yang hanya bisa diganjar dengan temu. Tapi lagi-lagi, masih menyoal waktu yang harus ditempuh agar kita bisa menjadi utuh. 

Tinggal doaku di sini, semoga sampai di seberang sana. Pun begitu sebaliknya. Kau mengoleh-olehi ketabahan menghadapi kota yang tak lagi bisa kunikmati sebagai Jogja sebab keistimewaannya turut kau bawa serta.



Yogyakarta, 28-29 Oktober 2015
Fasih Radiana

5 komentar:

Unknown said...

Selamat ulang tahun. Cie LDR masih pakai surat-suratan hahaha. Buruan dideketin dong fasih, lamar cepat lamar.

Ifrit apaan?

Fasih Radiana said...

Iya, terima kasih, aamiin :) Jin Ifrit....

Arinta Setia Sari said...

ya ampun baca tulisanmu dek. sastra tingkat tinggi. belum bisa aku model kayak gini... mesti banyak baca
pantes kemaren di perpus banyak bawa buku...

dan blogmu hampir mirp dengan blogku, backgroundnya ornamen kayu.
aku suka warna cokelat dan kayu :D

haduh dekkk mau dung dihadiahi buku-buku...
:)

Fasih Radiana said...

Hehehe makasih, Mbakkkkkk. Yang tulisan-tulisannya juga menginspirasi :)

Doakan saja segera bisa menghadiahi buku-buku buatmu, Mbak :D

Produksi Alas Kaki said...

Nice posting! Rumah produksi sepatu bisa model sendiri satuan, borongan, pria, wanita, dewasa, anak, pakai brand sendiri. http://rumahproduksisepatu.blogspot.com

Post a Comment