Tuhan, Kaulah pemberi takdir paling sempurna. Aku percaya dan masih percaya itu. Tapi bolehkah aku mempertanyakan sesuatu?
Hidup memang begitu lucu, ada yang sengaja mengumbar pesakitan untuk sebuah harga kasihan. Lucu bukan? Lalu sesekali aku tertawa, apa hebatnya? Demi Kau, aku tak ingin jadi setan yang memainkan peran sebagai antagonis. Tapi seberapa lama aku menjadi pemain yang menonton retorika zaman yang semakin edan. Ah, betapa yang putih tampak hitam. Yang hitam terasa putih.
Tuhan, sudikah tertawa bersamaku kali ini saja? Agar aku tahu, aku memang hanya perlu tawa untuk menceritakan apa yang kurasa.
Hidup jadi tampak seperti panggung lenong bocah. Ada yang merasa hidupnya paling kuat, ada yang merasa hidupnya paling beban, ada yang merasa hidupnya paling sempit, ada yang merasa hidupnya paling suci. Di mana kiranya aku meletakkan diriku? Aku tidak tahu. Hanya saja, aku masih ingin terbahak bila ada yang bicara soal takdir dari-Mu, Tuhan. Entah mengapa. Apa mungkin aku seperti si kutu buku yang sudah melahap beribu lembar kertas kehidupan? Membaca setiap pesan singkat yang Kau kirim setiap malam nyaris berakhir, lalu aku menangis sendiri. Bukan untuk sebuah air mata, tapi tawa yang tak kan menemui akhirnya.
Hidup, apa memang begitu lucu?
Kita yang tak pernah bisa mereka-reka apa yang menjadikan cerita jadi begitu pedih atau jadi begitu bahagia. Atau kita yang tak pernah siap akan suatu kehilangan bahkan saat menemukan. Tuhan, kapan kiranya aku bisa membagi takdir? Biar tak gaduh dibicarakan massa, biar mata terbuka lebar, biar lemah tak lagi resah, biar kuat ditopang satu cerita yang tak pernah diduga-duga manusia....
Hidup, memang bukan untuk kaupertanyakan mengapa bisa terjadi. Tapi bagaimana cara menghadapi.
0 komentar:
Post a Comment