Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Saturday, September 15, 2012

Semalam Tadi Aku Menuliskan Luka


Semalam tadi aku mengutuk diri semalam suntuk. Berteriak tanpa suara. Mengerang menyudutkan kepala. Rasanya ingin kuhantam ke dinding, biar pecah sekalian. Napasku tersengal-sengal, risau berputar-putar menyesak di dada. Sakit sekali rasanya. Semalam tadi aku berjaga. Sudah tiga hari resah tak kunjung mereda. Tiga malam aku duduk bermanja pada kata. Sayangnya, mengapa selalu ada luka di antaranya?

Mungkin itu sebab mengapa aku lebih suka terluka. Karena Tuhan selalu menjatuhkan luka tanpa sisa.

Lihat saja mereka! Yang tidak punya uang untuk makan. Yang tiada daya karena tidak punya apa-apa selain nasi sisa-sisa. Apa mungkin nasi yang sudah mengering hanya akan dibiarkan saja, sedang perut mereka lapar luar biasa. Apa bisa bertahan tanpa menelan makanan?

Bukankah sama saja sepertiku? Luka seperti teman setiap malam, seperti bulan yang mendaki langit diam-diam. Bagaimana mungkin aku menghilangkan lara, sedang Tuhan terus saja menyuguhi hati dengan luka? Padahal jiwa tak mungkin bisa hidup tanpa rasa. Sedang aku hanya terbiasa punya luka. Lalu dengan apa lagi aku merasa kalau bukan dengan luka? Apa bedanya dengan dia yang makan nasi sisa-sisa? Bermula dari paksa menjadi yang terbiasa. Memang begini Tuhan mendidikku dengan luka sukma. Lalu siapa yang bersalah?

Aku bukan yang pandai membenci, bahkan yang pernah mengkhianati. Aku bukan yang mudah membenci, meski Tuhan setia memberi lara bertubi-tubi. Kalau pepatah bilang membenci adalah cara terbaik melupakan seseorang, mungkin aku tak akan pernah bisa melupakan.

Semalam tadi aku berdoa. Bersujud pada Tuhan, meminta pertolongan. Berkali-kali beberapa lelaki memintaku menggenapi, bahkan yang hatinya sudah dimiliki. Tapi aku pernah jadi yang paling angkuh berkata.

"Aku nggak akan pernah mencintai kekasih orang. Banyak lelaki di luar sana yang masih sendirian."

Mungkin Tuhan ingin menjelaskan, rencana-Nya bukan yang bisa ditebak-tebak manusia. Semoga aku salah mengira, mungkin kamu juga yang pernah memuja kata setia. Tapi mungkin saja Tuhan juga sedang mempertemukanmu pada hampa, yang bilang bahwa takdir Tuhan memang menjadi yang tak terduga. Membelit hatimu, membuatnya jadi bergelut dalam kemelut. Seperti kau yang mulai memberiku penyakit akut.

Aku pernah merasakan kesakitan karena diduakan, tapi mengapa yang sekarang rasanya lebih menyakitkan? Bukankah seharusnya jauh lebih pahit diduakan daripada menjadi yang kedua? Mengapa dulu aku bisa memutar logika, membiarkan seseorang merebut apa yang menjadi hakku hanya karena Tuhan menyelipkan satu kalimat, "Mungkin perempuan itu jauh lebih sempurna." Mengapa logika tidak berlaku lagi hari ini? 

Semalam tadi aku menghakimi. Kalau saja keputusan dibuat seperti pemilihan presiden, maka pasti pilihan suara berada pada dia, yang sudah menggenapi hatimu ratusan hari. Tapi kalau saja ketentuan ternyata berlaku seperti kematian, maka Tuhan yang mengaturnya. Siapa yang tahu, siapa yang akan menjadi siapa? Tapi, bukankah begitu hakikatnya? Hanya Tuhan yang tahu di mana separuh tulang rusukmu berada.

Semalam tadi aku menghabiskan waktu dengan menunggu. Menyiapkan diri sakit hati untuk kesekian kali. Kalau saja harus ada yang terluka, mungkin akulah orangnya. Begitu kan? Mungkin saja perempuanmu tidak siap menerima luka, sebab bertahun-tahun kau membiasakan hidupnya bahagia. Atau sebab Tuhan hanya mengajarinya padaku. Tuhan hanya menjejalkan rasa sakitnya pada perempuan itu, Aku.

Semalam tadi aku menangis tersedu-sedu. Bukan lagi sakit yang menusuk-nusuk rusuk. Aku hanya takut membuatmu juga ikut kalut. Berhenti, Mas. Berhenti menghiraukan tulisan-tulisanku yang tumpah dengan abjad pilu. Hentikan saja bacaanmu itu. Mungkin kamu sama seperti perempuan itu, tidak siap terluka. Jangan sampai merasakannya, karena luka itu kejam menerkam. Kalau belum terbiasa maka akan begitu memilukan. Rasanya... air mata saja tak 'kan cukup menjabarkan betapa sakitnya. Cukup aku saja. Bersama Tuhan Aku baik-baik saja.

Kebetulan? Atau sengaja dipertemukan?
Sumpah serapah, aku bukan pengemis cinta. Aku bukan yang akan meminta-minta cinta. Bukankah aku pernah mengatakannya, aku hanya mencinta bukan untuk suatu imbalan serupa. Sebab kau juga pasti menyadarinya, bahwa cinta bukan yang mudah dimengerti artinya. Bisa tiba-tiba datang begitu saja. Bukan manusia yang mengendalikan, bukankah ada dzat penguasa hati? Bukankah masih ada Tuhan? Sudah tertulis rapi pada tinta milik langit. Terkadang membuat semua jadi semakin rumit bekerlit.

Semalam tadi aku membenahi hati, tak ingin menghalangi yang akan pergi. Sungguh, aku tak ingin kau merasakan apa yang menjadikannya luka. Sebab sedari tadi aku menuliskan luka, Mas. Aku mengurainya satu demi satu. Padahal bukan mauku, bukan....

Lalu semalam tadi aku terisak menyesak. Bukan untuk meminta belas kasihan. Jangan menghardik perempuan sepertiku. Sebenarnya aku tidak lebih kuat dari yang terlihat. Mungkin saja Tuhan ingin mengajariku menjadi perempuan bijaksana. Dengan merasakan engkau yang menancapkan gema yang meraung-raung menyakitiku. Mungkin kamu akan berkata akulah yang menyakiti diriku sendiri. Tapi jauh dibalik itu, mungkin ada yang terlupa. Mungkin ada yang tidak kau sadari. Kamulah yang memperjelas lukanya.

Lalu semalam tadi aku terisak menyesak. Bukan untuk meminta belas kasihan. Tidak apa-apa, Mas. Bukankah air mata hanya bahan bakar sederet tawa nantinya? Tidak apa-apa, Mas. Tersenyumlah seolah semua masih dalam keadaan sempurna, baik-baik saja. Tersenyumlah seolah semua baik-baik saja.


150912- 02.37~ Mengurai perasaan bukan untuk secuil belas kasihan! Sebab aku akan tetap baik-baik saja meski air mata meluncur tak tertahankan.

2 komentar:

Anonymous said...

Inisial D?

Fasih Radiana said...

stop sebut inisial-__-! D adalah Dia.

Post a Comment