Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Thursday, September 13, 2012

Lelah Menunggu


Mencintaimu itu melelahkan.

Aku sudah di ujung pintu. Baru saja akan kututup lalu kukunci rapat-rapat, tapi kau malah sengaja membukanya lebar-lebar. Memaksaku menoleh untuk kesekian kali, tidak jadi beranjak dari sini. Tapi kamu tak mau masuk. Hanya berdiri di luar saja, memegangi gagang pintu. Lalu? Begitu terus sampai kantuk membuat mataku nyaris terkatup.

Kamu tetap berdiri di antara pintu yang setengah menutup. Sesekali kamu mengetuk ulang, tapi hanya untuk mengetahui ada apa di dalamnya. Bukan untuk mencicipi sajian di rumahku. 

Aku mau tidur.

Tapi kamu menggoda kerongkonganku, membuatnya jadi dahaga. Haus tiba-tiba meronta. Aku terantuk-antuk. Tapi desah napas melambung, membuat bola mataku membumbung. Tiba-tiba jadi bangun.

Kamu serupa depkoleptor yang menagih. Memaksa meski tahu aku sudah letih. Tak peduli dengan tertatih, kau tetap menyuruhku menunggu di dalam sambil mendekih. Meringkik, sesekali menggigil sendiri. Kenapa tidak mau masuk?

Bukannya di luar juga dingin? Atau karena ada sekelumit yang membuat langkahmu jadi rumit. Aku menunggu kemelut yang masih juga kusut untuk segera diusut. Tapi kamu tak juga segera. 

Dengan debu yang menebar benih. Jadi menyakitkan sebab banyak ulat melumat-lumat. Menyakitkan! Kau tahu rasanya? Kau harus tahu rasanya, kau juga mesti merasakannya. Sakitnya melambai-lambai, mengerang tak mau hilang.

Atau sepertinya kamu puas melihat air mataku jatuh merembes. Bertetesan tumpah ruah. Puas kau membuat kakiku terpagut, menangis sendiri. Aku saja.

Berhenti. Tolong, berhenti! Suaranya berdentam-dentam di telinga. Membuat sebagian lukaku menganga. Berhenti! Sekali lagi, tolong, berhenti membuatku seperti ini. Menunggu di dalam sendiri, kamu seperti sengaja membuatku mengeja kata. Tolong, aku sudah tidak tahan lagi. Mencintai dari balik layar. Menunggu kau yang masih saja hobi berlayar. Aku sabar. Tapi....

Buat apa jika tidak benar-benar ingin ditunggu? Sampai gagu juga tak 'kan menjadi sebuah lagu. Menunggu. Menunggu tamu yang tak kunjung masuk tapi tak membiarkan aku pergi. Tetap berdiam diri, menepi di tepi jemari. Aku mengutuk kepalaku yang tetap mengangguk-angguk. Ah, kamu seperti menyihirku.

Kenapa kamu terus menghitung detikan yang tak 'kan punya tepian? Aku tidak menyuruhmu mengintai jarum jam. Apalagi memintamu memantau jam tidurku. Aku hanya menunggu sampai kaumasuk. Merayumu dengan bahasa yang membisu. Sendirian di dalam. Meski harus terluka dalam diam. Hanya saja, menunggumu begitu melelahkan. Kau, Mengapa masih saja hanya berdiri di sana?

0 komentar:

Post a Comment