Masih bisa kau ingat meski samar-samar, apa yang kamu ucap padaku sore itu, Mas? Kamu bicara soal hati. Apa kiranya sudah hambar. Atau ternyata segala dusta, betul begitu, Mas?
Padamu di ujung senja, aku pikir jadi akhir segala. Begitu mudah aku percaya, tak sulit bagimu melupa soal kata demi kata yang kuselipkan pada rasa. Kukira baru kemarin sore, Mas, kau panggili namaku. Katanya sudah rindu padahal baru saja lepas dari matamu.
Temu yang tak tepat dengan waktu atau kamu yang tak pandai menempatkan rindu. Pada masamu yang lalu, bukan aku yang bertanya, kamu sendiri yang menyuara tak akan mengais-ngais yang sudah habis. Apalah beda kamu dengannya, sama tak memegang lidahnya. Apa harus aku yang menikmati perihnya, Mas? Haruskah aku sendiri yang menelannya? Tak bisa kaubantu aku mengunyahnya, melumat-lumat segala pahit yang teramat.
Kupikir baru kemarin sore, Mas. Hujan petang menahan jejarak untuk pulang dan waktu yang begitu panjang untuk melantun lagu yang diputar berulang-ulang. Cinta jadi sahabat baik dua hati, jadi guru, jadi teman, jadi tawa, jadi puisi, jadi lagu, jadi sepi, jadi tangis, jadi luka, jadi matikah sudah semua setelah kau puas mencicipinya?
Kurasa baru kemarin sore, Mas. Sayang, begitu panggilan akrabnya. Rindu, begitu sapaan mesranya. Dan cinta, seperti udara yang menyeruak kuhirup di mana pun aku menjejak. Dan cinta, seperti gerimis yang jatuh tetes mengembun di mata kumenatap. Dan cinta, mengapa jadi begitu asing setelahnya?
Aku tak pernah bersiap untuk kamu yang tinggal di sore itu. Aku tak pernah bersiap untuk pergi dari sore itu. Tapi, kamu tetap menjadi lelaki kemarin sore. Begitu saja, seperti musim semi yang berganti jadi panas kemarau.
Menggersang, Mas....
#30HariMenulisSuratCinta
1 komentar:
Good
Post a Comment