Mewakili resah yang merindu. Aku merinding serupa angin yang menggugurkan dedaunan. Debu berserak mengkerak. Bagaimana lagi aku harus berhenti menangisi?
![]() |
follow me @fasihrdn |
Berkali-kali aku melirik jemari lentikmu. Memangku gelisah yang tak juga jengah. Di balik tirai jendela kuremat-remat, biar gemeretak gigiku berhenti menyemat sampai keram melambung tak putus-putus. Di balik kaca jendela aku berkaca. Memandangi lekat-lekat wajah yang tak terlihat jelas parasnya. Di balik semu aku bersembunyi. Bersembunyi dan ingin cepat-cepat menjatuhkan diri. Lebih baik begini daripada harus jatuh dalam cinta tak bertuan.
Aku tak bisa melihat ujung atap rumahmu. Dari balik layar aku mengendus mencari-cari aroma tubuhmu. Sebab aku hanya bisa menoleh sepersekian detik dari waktu yang tersisa. Bilik yang nyaris roboh itu kaubangun dengan kayu yang baru. Dengan batu-batu yang lebih kuat dari dahulu. Lalu untuk apa jika hanya akan dirobohkan lagi? Untuk apa kiranya, untuk apa?
Dik, begitukah panggilan yang paling mesra? Paling pas? Di balik tirai jendela aku mendengar suara-suara dengan mata sayu. Seperti suara perjaka yang pernah mampir di mimpiku.
Kalau di sana sudah kutemui dekap yang erat, lalu untuk apa bangun lagi?
0 komentar:
Post a Comment