Jogja terlalu bising untuk kusambati dengan kantung mata yang menebal, dan hitam ramai melukis garis senyumku. Membuat dua puluh seperti empat yang bergelantungan diujung telunjuk, tak mengenal lagi diksi. Tak ada lagi rima. Ia terlalu jauh untuk diseret duduk berdampingan, terlalu dingin untuk dinikmati dengan bicara. Diam pun tak isyarat lega.
Tidak kutemui Jogja merambah, kecuali marah yang diusung dengan ramah. Tanpa sepatu baru kita berjalan dengan batas. Antarruang; antarwaktu. Tak ada larik puisi yang dicicip sebelum matang, atau prosa yang tampak jadi begitu panjang untuk dikenang. Begitu segala mengambang, membayang dalam separuh wajah yang terlupa.
Hari ini tak lagi mampu menjadi Jogja. Terlalu asing untuk menjadi biasa. Canggung. Mungkin perlu jabat baru atau biarkan saja seperti tahun-tahun sebelum tidur masih bersetia pada bulan. Bias terik yang terlampau kencang untuk terhalau mendung petang. Ubahku tak mungkin membawa kembali Jogja, apakah kita bisa lagi menjadi lampu taman kota? Yang kini kedipnya saja surut diisap gemerlap kemacetan pendatang. Mengusir hening. Mengusir seluruhku. Sesal atas sadar, keterlambatan menaiki kereta menuju pulang.
Senyum khasmu terlalu dalam, aku tetap tak bisa lupa. Bila saja tak lagi ada Jogja, biar ia melebur menjadi kebahagiaan yang dilempar ke tempat lain. Bukankah kau pernah mengajariku untuk tabah menunggui ikhlas? Di sini, Jogja membawa kita berpapasan dalam suatu kebetulan yang disengaja Tuhan. Mungkin bukan untuk apa, tak akan menjadi siapa.
Salam,
Dari Yogyakarta,
Fasih Radiana.
0 komentar:
Post a Comment