Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Thursday, April 24, 2014

Izinkan Aku Bercerita, Jogja



www.fasihrr.tumblr.com


Sebab itu aku memilih untuk merunduk di balik sujud dengan tangis meluruh tumpah ruah, kubiarkan menetes di atas sajadah(mu). Biar malaikat menghapus bulirannya agar tak tampak oleh mata hujan yang meruncing dengan bising, biar malaikat meredam gemetar di dadaku; geram yang dibahasakan dengan begitu sempurna. Lalu "Baik-baik saja" memang selalu jadi tonggak paling pas untuk kekuatan yang nyaris tumbang. Aku tak punya cara lain, kecuali dengan mendoa.

Izinkan aku menulis, aku mohon....
Sedari jauh kau bilang aku tak boleh lagi berucap lewat sastra yang sarat akan siratan surat. Katamu, jangan sampai ada luka lagi karena abjad-abjad yang kubiarkan menari dengan lenggoknya, sesuka hati kesana-kemari. Bukankah tak ada yang paham apa yang kuutarakan melalui satu-dua baid ini, Mas? Dan yang kupanggili dengan sebutan "Mas", siapalah yang tahu itu adalah engkau, lelaki yang pandai kali mengajariku soal perasaan: hati yang menguat di setiap sepertiga malam. Kalau maksudmu adalah dia—wanitamu—untuk kaujaga hati dan perasaannya, sungguh, kalau kaubaca kalimatku ini, Mbak ... izinkan aku menulis. Hanya sekadar tulisan, sepanjang lariknya hanyalah kata, apalah artinya bagimu? Maka tak perlulah kaubaca dengan saksama. Tak semestinya dihayati, kecuali menghasilkan pemikiran yang lebih bijaksana. Atau haruskah aku memohon padamu, mau dengan cara yang bagaimana lagi agar membuatmu percaya bahwa rima di dalam syairku bukanlah untuk kaumaknai setiap hurufnya. Cukup izinkan saja aku menulis setelah puas menangis. Boleh kan?

Kau bilang, aku boleh menulis asal bukan perkara yang berpaut denganmu, atau dia, atau kalian, atau kita. Ini soal aku, kau pikir ini soal apa? Ini soal hatiku yang sesak dan butuh ruang untuk melepaskan. Lalu dengan apa lagi aku mencurah kalau bukan lewat suara yang mengisyaratkan jiwa? Aku tak butuh perlakuan istimewa, sungguh, kau boleh percaya atau tidak, aku tak menginginkan kau pahami naluriku sebagai seorang wanita. Aku hanya mampu membasuh duka lewat bahasa, salahkan aku yang tak sanggup memenuhi permintaanmu untuk menghentikan jemari.

follow me @fasihrdn

Tanpa aku sadari, ternyata kalimatmu melesat begitu cepat dan mengendap di ujung kepala. Aku tak bermaksud jadi pembangkang, tak mengindahkan suaramu yang mengaung keras mengitari atma. Ketika bagimu ia pantas dijaga hatinya, sepersekian detik kemudian aku berusaha membantumu untuk menjaganya. Aku benar-benar sudah menahan dahaga untuk tak melentikkan sederet sajak-sajak berbicara. Sudah kujajal tak kujejal penatku dengan aksara, tapi aku tak bisa menahan apa yang sudah jadi kebutuhan. Sedang tangisku saja tak cukup ahli dalam mencipta ketenangan. Percayalah, tak ada yang tahu-menahu udang jenis apa di balik batu yang kuletakkan di atas pusara. 

Kamu—pembaca setia—tak mengerti apa yang sedari tadi kulibatkan sejak awal paragraf sampai titik-koma di akhir pemilihan kata. Begitu kan? 

Yogyakarta, titip memoar yang kobar di bawah purnama: Jaga ia dari atas sana.

Kota penenang jiwa yang menyisakan seabrek kenangan. Barangkali sudah penuh sesak dengan para pendatang. Biar aku yang pergi, biar aku yang tahu diri, biar aku yang menepi. Ah, Jogja. Ketika tetiba mulai merasa lelah seperti ini, ingatkan aku bahwa butuh kesabaran yang lebih kuat untuk kebahagiaan yang lebih hebat....


Jangan biarkan aku bermanja pada siksa. Jangan pernah biarkan aku lena bersama getir nestapa. Tolong, jangan biarkan prasangka menguasai seisi rangka dalam raga. Aku tak ingin kecewa jadi alasan untuk sebuah kepergian dan berhentinya kepedulian. Bahwa semestinya ketika aku memutuskan untuk berani mencintai dan menyayangi seseorang, yang pertama harus kupersiapkan adalah kekuatan hati untuk memaafkan. Sebab ia selalu butuh pertahanan melalui maaf yang dilakukan berulang-ulang.



240414~Maafkan aku menulis lagi....

1 komentar:

Unknown said...

waawww...follow back

Post a Comment