Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Friday, January 31, 2014

Aku Baik-Baik Saja #Akurapopo Part 4


Setelah aku sendiri.
Aku tak punya cara membunuh waktu yang semakin hari terasa begitu lama.
Setelah aku sendiri.
Aku bisa tak bicara satu patah kata pun.
Setelah aku sendiri.
Aku hanya hidup saat azan berkumandang, membaca kitab suci, lalu mati kembali.
Setelah aku sendiri.
Aku tak takut lagi kehilangan apapun, sebab kamulah hal terakhir yang kumiliki.

Aku (bukan tidak) baik-baik saja karena sendiri. Tapi sebab aku tak punya cara untuk hidup setelah ini, bahkan meski dengan yang lain.




Kau tahu, aku baik-baik saja (290114)
Aku berjalan menuju halte Trans Jogja. Aku jadi ingat, kamu pernah memintaku menemanimu mengelilingi Jogja dengan itu. Tapi aku lupa sebab apa, kita batalkan dan menggantinya dengan yang lain. Kemarin, setelah sekian lama ... aku memilih untuk menunggangi bus ketimbang naik motor. Aku menitipkan motor di rumah sahabat, lalu berjalan dua kilometer menuju halte.

"Mau kemana, Mbak?"
"Prambanan."
"Jalur 3A, JEC oper 1A."

Aku mengangguk. Prambanan?

Pukul 08.33, bus datang. Untung dapat tempat duduk. Aku benar-benar rindu masa sekolah. Di mana cinta bagiku hanya hiasan, yang jika tak ada tak mengapa. Kalau ada, lebih baik. Bukan seperti sekarang, mungkin, bukan cinta yang membuatku kehilangan akal sehat, tapi aku yang menganggapmu begitu serius sehingga aku merasa tak perlu bersiap-siap kehilanganmu. Bodoh. Aku tersenyum, tidak yakin ingin ke Prambanan sendiri dan sepagi ini. Apa lebih baik aku putari dulu Jogja?

"Mas, ke Prambanan turun di mana ya?"
"JEC, ganti 1A, Mbak."

Ah, sepertinya Tuhan memang menyuruhku menenangkan diri di sana. Mbak-mbak di sampingku juga menuju Prambanan. Ya sudah, kupikir, aku memang tidak sendiri. Entah mengapa, perjalanan menuju Prambanan terasa begitu cepat, aku segera turun. Dan tak tahu berada di mana. Aku juga tak berminat bertanya di mana Candi Prambanan. Aku mengikuti mbak-mbak yang ternyata ada 4 orang itu. Menyebrangi jalan besar.

"Ojek-ojek, Mbak. Candinya masih 1,5 kilometer lagi."

Aku berjalan mengikuti mbak-mbak yang dari logat bicaranya adalah wisatawan dari Jakarta. Tapi apalah daya, jalanku mungkin yang terlalu cepat dan mendahului mereka. Aku mencari sendiri di mana pintu masuknya. Takut salah, aku mencoba menelepon temanku.

"Assalamualaikum, pintu masuk candi itu pertigaan besar belok kiri kan?"
"Iya, kayaknya ada tulisannya kok."
"Ah, iya udah ketemu. Makasih, ya."
"Dasar, mbojo wae!"

Apa? Mbojo? Mbojo dalam kamus remaja Jogja adalah pacaran. Yaaaaah, pacaran dengan diriku sendiri adalah kenikmatan yang tak bisa dimungkiri.

"Monggo, Pak."

Aku sedikit malu, bapak-bapak tukang parkir melihatku dari atas sampai bawah, lalu melihat ke sekitarku tak ada orang. Iya, aku sendiri, batinku. Aku membeli tiket, untuk Prambanan saja 30.000 sedangkan paket Candi Boko 45.000. Aku kemari bukan untuk berwisata, aku membeli tiket prambanan saja.

Masih begitu sepi. Untuk naik ke candi, diberi kain semacam batik dengan gambar candi prambanan.

"Bisa cara pakainya, Mbak?"
"Nggak, hehe."
"Mari, biar saya pakaikan."
"Sendiri, Mbak? Dari mana?"

"Iya, Jogja aja...."


Dan bla-bla-bla, percakapan yang kupikir semakin membuatku merasa bodoh karena datang kemari sendirian. Aku tidak ingin melihat candi. Sudah kubilang, aku kemari hanya untuk duduk dan diam. Itu saja. Aku menemukan tempat duduk di bawah pohon rindang. Di sudut candi. Hanya sedikit saja yang lalu-lalang melewati tempat ini. Dan semua bayang-bayang bermunculan seketika. Dua jam menikmati angin di atas candi, aku memilih turun karena azan zuhur sudah memanggili hamba Tuhan untuk segera menunaikan ibadah. Tapi kursi-kursi yang berjejer di bawah pohon-pohon besar yang menghadap ke arah candi, membuatku tertarik mencicipinya. Ada musik gamelan menemani daun-daun yang jatuh berguguran, bersamaan air mataku yang tumpah bercucuran. Aku mengenakan masker untuk menutupi wajahku, jaga-jaga saja, siapa tahu ada yang mengenalku.

"Mikirke opo to, Mbak ... Mbak ... dewekan, koyo wong ilang. Yo, melu aku wae." Diikuti tawa kecil dari ibu-ibu rombongan lain. Bapak-bapak berbaju merah itu rupanya sudah melihatku sejak di atas candi tadi.

Pukul 12.57, aku melangkah mencari musola, tapi lagi-lagi aku ingin mencicipi kursi yang lain. Aku bisa melihat dengan jelas candi itu berdidi kokoh dan gagah. Dikelilingi rumput dan pepohonan yang meneduhkan lamunanku.

"Alah-alah, Mbak ... tak fotone kene, dicopot kui masker e, tak unggah, lebokke majalah."

Aku hanya tersenyum di balik maskerku. Mengapa bisa bertemu bapak-bapak ini lagi.

Keluar dari Candi Prambanan, aku menuju masjid besar di sebrang jalan. Semestinya aku tenang, aku melupakanmu dengan solat dan tadarus. Tapi, nyatanya satu jam mencumbui ayat-ayat suci, justru semakin membuatku meneteskan air mata dan merasakan luka yang lebih dalam. Semestinya aku menguatkanmu yang sedang bersedih atas sakitnya nenekmu kan? Tapi aku malah mengasingkan diri di tempat ini. Andai aku punya uang lebih, sudah kulanjutkan sampai ke Solo. Aku benar-benar ingin melarikan diri.

Aku berjalan kembali ke halte. Langkah kaki yang kuperkecil tidak juga membuat waktu berjalan dengan cepat. Langit yang mendung tidak juga meneteskan hujan. Padahal aku ingin hari cepat selesai dan hujan membaur bersama air mataku. Tepat saat aku masuk ke dalam bus, hujan deras mengguyur tanpa malu-malu. Mengapa tidak sedari tadi saat aku berjalan? Bukankah aku menempuhi 1,5 kilometer untuk sampai di sini?

"Aku di depan rumahmu. Mau ambil motor."

Tak banyak bicara, aku mengambil motor yang kutitipkan tadi pagi. Kupikir, kembali ke Jogja sudah akan segera berganti hari. Tapi sekarang rupanya senja saja belum turun. Mengapa waktu seperti tak bergerak, Tuhan?

Aku memilih kembali ke rumah. Dan iseng-iseng membuka jejaring sosial. Melihat status terbaru wanita itu. Aku tahu, saat ini yang kau tahu hanyalah kebahagiaanmu sendiri. Aku tahu, umur tidak pernah menjadi jaminan untuk lebih peka dengan apa yang tersembunyi di balik sebuah kejadian. Seketika itu aku mengerang kesakitan, aku kembali sakau. Aku menangisi diriku sendiri. Aku tak sanggup lagi merasakan luka yang terus saja disiram dengan air garam. Luka yang menjadi bahan bakar cinta di tempat lain....

Kuberanikan diri menghubungimu.

"Mas balik Jogja masih besok kan?"
"Iya, kenapa dek?"
"Pinjem kosnya sebentar, boleh?"
"Iya boleh, tapi maaf tulisanmu udah kucopot karena tiap solat pikirannya malah nggak keruan."

Aku tahu betul kamu bohong. Alasan sesungguhnya, hanya sebab enggan wanita itu melihatnya. Aku tahu betul, apa yang ada di pikiranmu. Aku bisa menebak bahwa semuaku di sana sudah kauhabisi. Sudah kausimpan dan kau bawa pergi jauh. Jangan coba-coba kaubohongi aku. Aku memang (begitu) mencintaimu, tapi tidak sebodoh yang ada dipikiranmu....

Aku pinjam sebentar kamar itu untuk menangis sepuasku. Kuambil bajumu dari lemariku, dan video yang kupikir awal dari harga sebuah keseriusan. Aku tak sanggup bernapas bersama cinta yang menyebar di kamarku. Aku tak sanggup menyimpan semua di sini. Aku tak ingin ayah-ibu melihatku menangis, dan aku tak ingin menangis di hadapan siapapun juga. Aku tak punya tempat paling baik untuk menikmati rasa sakit yang menggerogoti tulangku kecuali kamarmu.

Kupikir hanya terjadi di serial FTV, tapi ternyata terjadi juga di dunia nyata. Hujan yang begitu deras mengguyur Jogja tak membuatku menghentikan semuanya. Aku tak peduli harus basah-kuyup, toh, hujan memang jadi teman paling baik untuk menangis. Sudah lama tak kurasakan menangis seperti anak kecil yang tidak dituruti keinginannya.

Dan aku tak percaya. Air mata justru makin merembes saat kubuka pintu kamarmu. Aku terduduk tak peduli keadaan bajuku membasahi seisi kamarmu. Semua hal tentangku sudah kaubuang jauh-jauh. Semestinya aku sadar bahwa aku tak pernah sedikit pun ada artinya di hidupmu. Aku hanya kerikil kecil dalam hidupmu, yang tersapu oleh hujan.

Sampai aku menulis kisah ini pun, aku masih sanggup merasakan waktu itu, waktu aku betul-betul menggigil kedinginan merasakan tetesan hujan merangsup sampai ke ubun-ubun. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku hilang akal. Aku mengambil pena dan buku kecilmu. Kutulis apa yang tak sanggup kuucap lewat suara. Segala yang begitu menyesak di jiwa. Aku betul-betul kehilangan separuh diriku. Tega, batinku.

Aku membuka laptopmu. Mengais-ngais yang tersisa di sana. Ada tulisan yang pernah kaukirim padaku. Hati Terakhir. Aku tahu, membacanya kembali hanya akan membuatku menangis lagi, tak kan pernah berhenti.

Kalo mas besok jadi berangkat, mas blas belum packing dek. Padahal besok pagi harus berangkat ambil mobil. Minta tolong pilihin baju atau kaos yang di lemari coklat, buat 4 hari kira-kira bawa berapa? ....

Aku tak sampai membaca pesan singkatmu yang begitu panjang bagiku. Rasanya begitu menusuk-nusuk, aku tak sanggup lagi membacanya. Aku menghapus air mata yang tak henti-hentinya membanjiri pipiku. Aku membuka lemarimu, berantakan. Kuambil semua baju yang ada lalu kupilih beberapa, kukembalikan lagi sisanya. Aku senang membantumu, walaupun rasa yang kudapat sekaligus sakit yang melilit-lilit. Meski sebenarnya aku tak tahu maksudmu menyuruhku membereskan bajumu, barangkali, kamu malah menggantinya dan menyusun bajumu sendiri. Sebab aku tak menemukan baju-baju yang sering kamu kenakan. Apapun alasanmu, aku hanya melakukan apa yang kamu minta. Mungkin, aku memang tidak pantas untuk dihargai meski sedikit. Dan aku betul-betul merasakan seperti apa sakitnya pecandu yang tak bisa mengkonsumsi narkoba. Menyetrika bajumu mungkin akan jadi hal pertama dan terakhir kali kulakukan. Aku menangis lagi. Air mata itu benar-benar menggila. Aku tak sanggup lagi merasakan betapa hancurnya aku.

Azan magrib. Aku solat dan mengaji, berdoa untuk kesembuhan nenekmu. Lalu menatapi sekali lagi ruangan kecil yang bukan lagi jadi bagianku. Aku tersenyum sendiri, menangis sekali lagi. Aku meringkik di kasurmu, mungkin untuk terakhir kali.

Di luar masih hujan, aku memilih pulang dan meninggalkan kamarmu secepatnya. Sebab aku benar-benar tak sanggup lagi bernapas di tempat itu. Tangisku tumpah ruah, aku berteriak dan terisak sekencang-kencangnya. Aku tak peduli semua mata melihatku. Jantungku benar-benar tak lagi mampu menyimpan segala degup dengan udara yang mengendap di dalamnya. Aku mengerang kesakitan.

"Ampun ya Allah, ampuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun! Berhenti, cukup........" Berkali-kali sepanjang jalan, lewat hujan aku berbicara.

Aku masih bisa merasakannya, masih bisa mengingatnya. Aku masih menangisi sore itu. Bahkan sampai detik ini, aku masih menangis karena itu.

Kau tahu, aku baik-baik saja(300114)
Aku terbangun. Pukul 02.00 dini hari. Mungkin Allah menyuruhku untuk tahajud, tapi entah, badanku merinding ketakutan. Aku tak bisa bergerak, aku tak sanggup berdiri. Aku memilih untuk kembali bermimpi. Setidaknya, dengan tidur aku tak akan menangis. Meski dalam mimpi pun segalanya terasa begitu suram.

Pukul 05.00, solat subuh dan tadarus. Lalu tidur kembali. Menikmati matiku sendiri. Aku berharap tak pernah bangun kembali. Aku sempat melihat kamu berada di depan rumahku. Melambaikan tangan memintaku datang padamu. Lalu aku terbangun dan sudah pukul 07.00. Aku mengambil air wudlu untuk duha dan melanjutkan tadarus. Lalu tidur kembali.

Samar-samar aku mendengar ibu dan ayah berteriak dari ruang tengah. Tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Walaupun aku tahu, mereka pasti bilang kalau yang kulakukan setiap hari hanya tidur di kamar. Ah, maafkan aku Pak, Bu....

Aku tidak jadi tidur lagi, bangun dan mengambil semua bajuku yang belum disetrika. Aku tersenyum dan ingat baru kemarin sore aku menyetrika bajumu.

Kamu meneleponku.

Dan segala hal yang kaukatakan, aku mendengarnya dengan jelas. Bersamaan dengan tanganku yang mengusap-usap air mata yang jatuh tetes. Aku tak banyak bicara. Aku hanya mengiyakan kata maaf dan terima kasihmu. Andai kata maaf mengembalikan segalanya.....

Pukul 09.00 aku membereskan semuanya. Lalu kembali masuk ke dalam mimpi. Aku tak punya cara lain menghabiskan waktu kecuali dengan tidur. Pukul 14.00. Aku bangun dan mengintip dari balik pintu kamar, ibu sudah siap-siap berangkat kerja. Aku pura-pura tidur sampai Ibu membangunkan aku untuk solat zuhur. Aku mengiyakan. Ibu keluar rumah dan aku masuk ke kamar mandi, mengambil air wudlu lalu solat. Tadarus dan ... entahlah apa yang mesti kulakukan. Aku mulai menulis ini semua. Bukan untuk kaubaca, aku tak kan membaginya di jejaring sosial mana pun.

Ayo, ke Essens!

Mungkin aku memang harus mencoba keluar rumah. Aku mengiyakan ajakan teman SMP-ku. Datang ke kafe di dekat rumah. Kupikir ia sendiri, ternyata dengan tiga orang lainnya. Sesekali aku ikut tertawa dengan lelucon mereka. Meski aku sama sekali tak mendengarnya. Ternyata aku salah, pun sudah berusaha, pikiranku tak bisa lepas dari apa yang terjadi. Pukul 17.30, aku pulang melewati jalan terjauh menuju rumah. Aku sama sekali tidak sadar, sudah memutari jalan yang sama tiga kali. Barangkali, aku memang sudah gila. Aku ingat betul, terkahir kali aku mengajakmu bicara, aku bilang, "Apa kalau dengan perempuan itu tahu kamu denganku, dia akan mati? Atau hidup tapi gila?" Aku menangisi diriku lagi, aku yang ternyata hidup tapi gila. Aku sendiri ternyata yang hidup tapi seperti mati. Aku sendiri yang merasakannya.....

Tepat azan magrib, aku masuk kamar dan mengambil air wudlu lalu solat magrib, mengaji, lalu diam sejenak. Aku tahu, setiap aku diam, saat itu juga aku pasti menangis. Aku hanya menunggu isyak datang lalu mengerjakan ibadah solat isyak, tadarus, lalu tidur. Sudah kubilang, aku tak punya cara lain untuk hidup lebih baik kecuali menghabiskannya dengan tidur.

Pukul 22.30 aku terbangun. Sepersekian detik kemudian hujan deras jatuh di atap kamar. Begitu deras. Aku meringkuk, memeluk guling. Ada sesak yang begitu hebat menekan-nekan dadaku. Aku tak bisa bernapas dengan baik. Aku menggigil, dan merasakan sakit di sekujur tubuhku. Aku memegangi perut bawah sebelah kanan. Keringat-dingin. Apa-apaan ini ... aku menangis dan istgifar sebanyak mungkin. Aku bersujud meminta ampun pada Tuhan. Apa yang mesti kulakukan, Tuhan? Aku mencoba memaksakan diri untuk terpejam lagi.

Kau tahu, aku baik-baik saja(310114)
Pukul 03.00, aku terbangun. Mungkin sudah waktunya tahajud. Tapi lagi-lagi aku merasakan hal yang sama. Dadaku sesak, tubuhku menggigil, aku bukan pecandu, Tuhan? Aku bukan pecandu, mana mungkin merasakan sakau....

Aku memegang erat-erat jendela kamar, berusaha mematikan semua rasa yang semakin tak keruan. Aku masih menyebut nama Allah, aku betul-betul ketakutan. Sudah satu jam, tapi gigil itu tak juga diam. Bibirku masih terus minta ampun pada-Nya. Aku masih merasakan gemeretak di gigiku. Aku melepaskan sengal napas, lalu menyesak lagi di dada. Aku menyerah. Ambil saja aku kalau memang tak bisa melanjutkan hidup dengan baik nantinya. Ambil saja....

Pukul 04.08, "Subuh...."

Tapi aku tidak sadar, aku tertidur setelah itu. Ayah membangunkan aku pukul lima lalu aku solat dua rakaat, aku kembali ke tempat tidur. Dan sempat membaca satu pesan singkatmu. "Sampun :)". Memangnya aku mengirim apa? Bodoh. Aku betul-betul tidak sadar melakukan apa.

Aku menangis lagi. Memandangi langit-langit kamar, aku sudah tidak sanggup lagi. Bangun - melihat jam - tidur, dan begitu mau sampai kapan?

Ketua timku menelepon, SMS, berkali-kali sejak beberapa minggu lalu. Kuabaikan. Aku bilang, keluarkan aku dari tim, kalau memang bagimu aku tak sanggup mengemban amanah itu. Aku tak peduli, aku tidak pernah bermimpi sampai ke Korea dengan hati dan hidup yang begini. Kalau memang harus segalanya Tuhan ambil, ambillah....

Semakin kupikirkan, semakin aku merasa sakit jiwa. Sumpah, aku tak pernah membayangkan ini terjadi padaku. Tak pernah terbesit sedetik pun, hidup jadi begitu berantakan. Beginikah yang disebut baik-baik saja?

Beberapa jam yang lalu, entah mengapa, aku membuka jejaring sosialmu lewat akunmu. Aku melihat apa saja yang kamu lakukan dengan akunmu. Dan seketika itu juga, saat melihatnya ... dengan cepat langsung kututup. Aku tahu bersamaan dengan itu, aku menangis lagi. Dan tak akan pernah berhenti.

Aku tidak akan menyusun kembali hatiku yang hancur. Aku tidak akan mencoba untuk membuat hidupku utuh lagi. Aku tahu, kali ini aku benar-benar sudah mati. Sudah.



29-310114~Berakhirnya Januari, berkahir juga aku. Selamat tinggal, hatiku, hidupku.

0 komentar:

Post a Comment