Fasih Radiana

Kalau kamu termasuk penulis dengan genre komedi, apa akan jadi sempurna tanpa tawa pembaca? Jadi, jangan pernah terbesit, kalimat asmara membuatmu kehilangan harga. Karena cinta seperti satuan terkecil yang melengkapi jutaan angka. Cinta juga yang menjadikanmu mampu membuat mereka melengkungkan tawa. Cinta bukan kisah tentang mereka yang membuat hidupnya seakan selalu kecewa, membuat hatinya terlihat selalu meluka. Cinta hanya menawarkan berbagai macam rasa. Terserah, mau pilih yang mana. Meski bukan karena seseorang yang mengelokkannya, percayalah, someday LOVE will find you. Karena cinta selalu mengajariku menyimpulkan hidup dengan lebih sederhana.

Sunday, August 5, 2012

Memeluk Bayangan(Part1)


Aku rindu hujan sore hari, membawa gutasi di pagi hari. Mengembunkan sejuk bersama hangat di bibirku. Aku rindu masa-masa di mana aku berlari mengejar hujan, tertawa dalam riuh gerimis. Aku ingin kembali menyapa hujan di sore hari.
“Berhentilah menangisi keadaan.”
Aku memandang nanar bola matanya, air mata menari-nari bersamaan hujan sore ini. Isak tangisnya tak henti menggetarkan kemeletuk giginya. Bibir merahnya gemetar tak mau berhenti.
“Kapan semua ini berakhir?” perempuan itu memberiku pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Aku membelai wajah lembutnya, “Sampai Tuhan menyudahinya.”
Gelisahku makin resah, aku nyaris gila mendengar pertanyaan yang sama setiap hari. Melihat raut wajah muram dengan luncuran air mata. Aku menyayangi perempuan di hadapanku ini, perempuan berkulit putih dengan mata coklatnya. Aku rindu segaris senyum yang sudah lama tak nampak menghiasi derap langkahku.
Sepertinya baru kemarin sore aku bermain rintik hujan bersamanya, menggigil sambil saling menertawakan diri. Baru kemarin sore aku mendengar tawanya yang renyah. Tapi semua seolah terenggut terik matahari. Sekarang semua berubah, dan siapa yang suka dengan perubahan?
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,”kataku sambil meletakkan secangkir kopi di dekatnya.
“Bersabarlah, karna Tuhan hanya sedang menguji kita. Begitu bukan?”
Ya, dia pasti sudah hafal dengan kalimatku tempo hari. Aku seperti kehabisan abjad. Kalimat itu yang selalu saja ku katakan berulang kali, seperti kaset rusak. Aku hanya tidak ingin melihat perempuan yang ku sayangi hanya menghabiskan waktu dengan duduk sambil memeluk lutut. Menangis tersedu-sedu sampai kantuk membuatnya kembali pada bunga tidur. Bagaimana mungkin bisa bahagia?
“Bagaimana keadaanmu?”
“Ha?”
“Dengan pacar barumu?” perempuan itu melanjutkan.
Aku terdiam. Aku hanya bisa diam menelan ludah. Sudah kesekian kalinya aku menyakiti lelaki. Bukan seperti yang kamu kira, bukan karena aku memulai permainan. Jelas ini bukan keinginanku, meninggalkan yang sudah terlanjur ku buat mencintaiku. Hanya saja bosan selalu mampir tepat saat mereka sudah mulai tak bisa hidup tanpa aku. Bukan rasa bosan, mungkin lebih tepatnya terlalu banyak aturan.

***

Sore ini jingga membulatkan warnanya, bersandingan dengan merah jambu. Garis langit tampak membelah langit, tapi masih tak bisa ku temukan di mana tepiannya.
“Di mana Ibu?” tanyanya masih dengan ekspresi yang sama, datar.
“Keluar cari makan malam,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Seperti biasa,”perempuan itu merebahkan tubuhnya di lantai.
“Kenapa kamu selalu nggak mau ikut?” kali ini aku penasaran.
“Biar Ibu bisa berekspresi semaunya, sesuak hatinya.”
“Semaunya? Sesuka hatinya?”
“Apapun itu, asal Ibu senang, kenapa nggak?”
Ayah bekerja di London, membuatku hanya tinggal bersama Ibu. Sebenarnya aku benci melihat pola hidup Ibu. Anak mana yang rela Ibunya meninggalkan rumah di malam hari bersama lelaki lain yang entah itu siapa.
“Pernah nggak sih, berpikir kalau kita sama saja membohongi Ayah?”
“Di mana letak kebohongannya?” perempuan itu mengerutkan jidatnya.
“Tentang kelakuan Ibu,” aku menghela napas panjang.
Perempuan itu malah tertawa, “Kasihan pada Ayah?”
Aku menganggukkan kepala pertanda setuju dengan pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan perempuan berparas cantik dengan gaya bicaranya yang sok cuek itu.
“Atau kamu sudah tidak tahan untuk terus bungkam?” perempuan itu melanjutkan.
Aku diam. Lagi-lagi diam. Aku merasa berada pada posisi yang menghimpit senyumku. Rasanya seperti ingin melemparkan hujatan pada Tuhan. Aku sudah tidak sanggup menahan gundah yang mulai membuatku lelah. Aku pasrah.

***

“Ini, oleh-oleh dari Bandung,” Lelaki berkulit sawo matang  menyerahkan bingkisan sambil mengumbar senyuman.
“Makasih, jadi ngerepotin, masuk dulu, Kak.”
“Nggak usah, aku langsung pulang aja deh.”
“Yaaaah, Cleo jadi tambah nggak enak dong, Kak,” aku memasang ekspresi kecewa.
“Udah, nggakpapa. Ada urusan, jadi buru-buru,” lelaki itu langsung pergi meninggalkan sedikit kekecewaan yang berbaur bersamaan dengan ketenangan.
“Siapa, Cle?” Ibu menahan langkahku.
“Kakak kelas, Bu.”
“Kok mukanya agak freak gitu, pacar?” Ibu melanjutkan introgasinya.
“Bukan kok,” jawabku singkat lalu meninggalkan Ibu.
Lelaki itu pasti akan jadi korban selanjutnya, yang ku tinggal pergi tanpa alasan yang jelas. Aku tahu, sebab Ibu tidak pernah mengajariku cinta yang tulus. Selalu ada alasan di balik kata “iya”. Selalu ada tujuan yang bersembunyi malu-malu tapi mau. Tapi tahukah, Bu? Aku lelah begini, aku lelah menjadi tokoh utama dalam serial telenovela yang selalu saja Ibu buat.
“Kamu nangis lagi?” tanyaku pada perempuan yang semakin tampak tulang rusuknya.
“Aku tahu kamu juga ingin menangis di depannya, di depan Ibu kalau saja kamu bisa, iya kan? Bukannya kamu ingin cinta?” perempuan itu justru balik bertanya.
“Lupakan, cinta bukan hal yang mudah di dapat di rumah ini.”
Aku meremahkan lelah, meluruhkan tangis yang ku tahan sedari tadi. Aku termasuk anak yang patuh pada Ibu. Dari sekolah, makanan, hobi, semua diatur oleh Ibu. Aku tak pernah punya kesempatan untuk membuat pilihan, ku pikir kecuali hatiku. Ternyata aku salah, aku ini milik Ibu. Ternyata benar, dunia ini masih memberlakukan hokum yang tak bisa ku langgar, hukum rimba.

To be continued... 



1 komentar:

Anonymous said...

ditunggu lanjutannya, cerpen yang keren;)

Post a Comment