Ia kejam. Bila kau tak benar-benar paham cara mengingatinya.
Pada daun yang gugur di musim hujan, ada jalan memutar untuk lebih dekat menuju rumah singgah. Agar terlindung dari gigil gemetar sebab tetesnya makin deras mengguyur mata kaki. Kau tahu mengapa aku lebih memilih melaju sampai menemui rumah singgah berikutnya. Karena aku tak pernah punya waktu menoleh ke arahmu, masa yang telah kutinggali.
Pada mata sendu yang mengaku sudah berlayar jauh dari waktu, aku melihat diri dalam diri yang lain. Tersenyum, tapi air matanya bercerita. Mengisah soal hidup yang angker pada suatu masa, di langit dari jari telunjuk pada senja dalam jingganya. Tapi menikmati malam jadi pilihan untuk menghitung bintang yang berjejer dengan kemungkinan-kemungkinan untuk bersegera menjadi pagi. Kau tahu mengapa aku lebih suka menyuguhkan tatap tegas tanpa pengulangan. Ia jelas. Ia tak pernah membiarkan bola matanya mengubrak-abrik air mata yang telah membeku. Ia tak pernah patuh pada semu. Ia tak pernah suka merindu.
Padanya, diriku yang sudah jatuh tempo. Aku tak pernah menggali memori untuk kukhidmati kembali masaku yang telah habis. Karena ia begitu suci. Bukan untuk kutawar berkali-kali. Bukan untuk kurangkum menjadi suatu kisah lama yang terungkap begitu saja. Biar menguap, menjadi asap dari kayu-kayu pada batang yang rapuh, tumbang tahunan lalu. Kau tahu mengapa aku memperbarui mula dari setiap kata. Memperbaiki akhir dari setiap paragraf.
![]() |
www.fasihrdn.tumblr.com |
Padamu, aku tak suka. Kau tahu mengapa.
Jemarimu menyeretku pada jarum jam di putaran yang tak kutahu kapan pernah bertemu. Diksi baru dari gaya bahasa lama. Mengajakku mengukur petak dengan berjalan mundur. Memanggili kenanganmu sendiri. Jemu aku pada polahmu. Padamu, kau tahu mengapa aku tak sudi menoleh ke belakang, berbalik badan.
Kenangan bukan untuk kaulumat bersama masa depan. Bukan untuk kausuap dengan sendok tua dari masa silam. Kau tahu mengapa aku tak pernah mengajarkan padanya—hati yang leleh dalam darah—untuk mengaduk-aduk yang pernah jadi kudapan. Sebab ia bisa mengubah sederhana menjadi begitu rumit. Jejak rapat yang merenggang. Kau tahu mengapa, aku tak suka padamu, bunga kata dari percakapan satu abad yang lalu.
Aku mengingat dan kamu mengenang. Tolong, bedakan.
Maka kuingatkan kembali. Kamu salah bila menjadikannya ruang untuk berbenah. Ia tak pernah memberi jalan untuk pulang, jaraknya terlalu panjang. Kalau kau bilang ia penghantar kebaikan, omong kosong. Sebab ia bukan tempat untukmu belajar.
Maka kuingatkan kembali. Kamu salah bila menjadikannya ruang untuk berbenah. Ia tak pernah memberi jalan untuk pulang, jaraknya terlalu panjang. Kalau kau bilang ia penghantar kebaikan, omong kosong. Sebab ia bukan tempat untukmu belajar.
Lalu jika nanti kau dan aku adalah bagian dari kenangan, jangan pernah mengingat-ingat aku, meski barang sebentar. Sebab sudah kuberitahu padamu, mengapa aku tak suka kenangan.
180714~Aku tak perlu menjadi bayang-bayangmu kan, kenangan? Aku memilih undur diri bila itu terjadi.
1 komentar:
Lumayan, ada bahan bacaan
salam blogwalking kaka
Post a Comment