17.
Jadi angka yang paling dinanti tuan dan putri. Mereka yang katanya disebut dewasa di angka tujuh belas. Katanya, sudah layak menjadi alamas. Tapi mengapa mesti tujuh belas?
17.
Ingatkah ada pertemuan yang katanya bukan sebuah kebetulan pada Selasa malam di bulan ke sembilan? Bisa kurunut kembali, kronologi jejak remang di halaman luas salah satu gedung universitas itu bukanlah suatu permintaan atas kedatangan satu sama lain, tetapi menjadi waktu yang pas untuk awal mula sederet kejadian.
17.
Aku yang langguk soal hati dalam garis stabil, kukuh kali bilang tak akan jatuh dalam cinta. Kontras dengan lelaki yang samar parasnya dibias bulan, sedang mencari-cari pintu keluar dari masanya yang telah lalu. Kau yang barangkali kadung duka bicara hubungan dan aku yang teguh pada kesetimbangan. Perasaan bukan lagi perkara sepele ketika Tuhan membuka jalan, membatasi perkiraan, atau menggeser angan jadi bungkus kebimbangan. Bulan yang merayap diam-diam, seketika jadi bising hujan.
17.
Sehabis malam itu pagiku direnggut kelut-kemelut. Tujuh belas jadi jejeran angka yang selalu ingin kutemui di tempat serupa, pada waktu yang sama, dalam lingkar senada. Agar bisa kuambil kembali yang dirampas paksa, segala yang baik-baik saja sudah tak lagi ada di sana. Mengapa kau tega menukar teduhku dengan gaduhmu?
17.
Lalu jadi deretan bilangan yang tak berumus: 17, 5, 6, 19, 20, 25...
17.
Aku masih bisa mengurai satu persatu kausa semara. Sampai kata membujur sajak-sajak tak berima. Sudah lelah dalam lengah. Jenuh melenguh keluh, kau dan aku jadi sama-sana membuhul kelukur. Jauh lebih santun aku membisu; undur diri dari hadapanmu. Biar tulus yang menjawab waktu.
17.
Pertemuan itu bukan suatu kebetulan, katamu berkali-kali. Juga saat ber(p)ulang di pertemuan pertama setelah suatu perpisahan yang tidak lama. Tujuh belas jadi angka lawas yang diperbarui. Kala janji tanpa bukti mendadur mimpi, aku jadi sedikit takut kalau-kalau kau membawaku pada setia yang salah lagi. Tapi rupanya kau hebat membangat hati, memasuki rongga sukma yang mulai meruam kebiruan. Lebam kedinginan.
17.
Apa masih kurang? Yang kemarin, apa masih kurang? Nyaris menuju tujuh belas yang kesekian ... dan kau masih juga tak memberi kepastian di masa mendatang. Kau, masih saja memberiku ruang untuk bertanya ada apa di masa silam.
Iya atau tidak, begitu sederhana mengapa mesti menunggu aku merebas air mata....
160414~Jelaskan saja apa yang mesti kuketahui secara rinci, sebab aku tak sudi kehilangan dua kali hanya karena membagi hati sekali lagi.
1 komentar:
keren kawan artikel kamu kunjungnin balik ea dekabopass2.blogspot.com/
Post a Comment