Bu.
Apa kabar?
Lama kupikir aku adalah yang paling kuat.
Lama kukira aku adalah yang paling sabar.
Lama kurasa akulah yang tiada.
Ayah.
Sedang apa?
Belum lama sepertinya, aku diberi selembar hitam-putih berukuran 3x4; usang, robek separuhnya.
Belum lama kiranya, aku sombong tak akan pernah bertanya mengapa kau di sana; entah, di mana.
Belum lama ternyata, aku tak kuasa ingin mengubah segumpal darah dalam dagingku.
Tapi tak bisa, batinku.
Tapi tak mungkin, lirihku.
Tapi tak boleh, kata-Nya.
Barangkali, jarak yang kubawa pulang tak sampai waktu untuk menemuinya kembali.
Barangkali, sudah kosong sampai tujuan.
Barangkali.
Kali ini aku ingin mengulang segala dari nol. Lalu bertanya bagaimana caranya.
Aku ingin terbang ke masa yang sudah lama kutinggalkan sendirian. Tapi tak bisa kan?
Seandainya saja, seandainya saja.
Segala fiksi jadi tampak begitu nyata mengambang begitu saja di permukaan. Atau justru realita mengumpat layaknya khayal yang semu.
Seandainya jarak tak pernah punya ukuran waktu untuk sampai pada pertemuan di titik yang kita inginkan. Mungkin saat ini aku memilih untuk tidak mengenali siapalah diri yang dikalahkan oleh takdir. Sebab aku tahu, aku tahu itu aku.
Apa kabar?
Lama kupikir aku adalah yang paling kuat.
Lama kukira aku adalah yang paling sabar.
Lama kurasa akulah yang tiada.
Ayah.
Sedang apa?
Belum lama sepertinya, aku diberi selembar hitam-putih berukuran 3x4; usang, robek separuhnya.
Belum lama kiranya, aku sombong tak akan pernah bertanya mengapa kau di sana; entah, di mana.
Belum lama ternyata, aku tak kuasa ingin mengubah segumpal darah dalam dagingku.
Tapi tak bisa, batinku.
Tapi tak mungkin, lirihku.
Tapi tak boleh, kata-Nya.
Barangkali, jarak yang kubawa pulang tak sampai waktu untuk menemuinya kembali.
Barangkali, sudah kosong sampai tujuan.
Barangkali.
Kali ini aku ingin mengulang segala dari nol. Lalu bertanya bagaimana caranya.
Aku ingin terbang ke masa yang sudah lama kutinggalkan sendirian. Tapi tak bisa kan?
Seandainya saja, seandainya saja.
Segala fiksi jadi tampak begitu nyata mengambang begitu saja di permukaan. Atau justru realita mengumpat layaknya khayal yang semu.
Seandainya jarak tak pernah punya ukuran waktu untuk sampai pada pertemuan di titik yang kita inginkan. Mungkin saat ini aku memilih untuk tidak mengenali siapalah diri yang dikalahkan oleh takdir. Sebab aku tahu, aku tahu itu aku.
Di persimpangan waktu, 2014
0 komentar:
Post a Comment