Sebenernya nggak bisa nulis apa-apa lagi ... sudah terekam dalam pikiran dan hati, sudah melekat dan membuat segala abjad membeku di sangkarnya. Oktober; selalu jadi bulan yang kunanti-nanti. Bukan sebab ada satu tanggal istimewa dalam hidupku. Tapi karena aku memang selalu berharap Oktober jadi pengikat waktu yang haru. Dan 2013 menyuguhiku Oktober yang begitu sempurna....
5-6 Oktober 2013 (Sabtu, 5 Oktober 2013 - Bintang jatuh, Merbabu Mount)

18-19 Oktober 2013 (Jum'at, 18 Oktober 2013; 23:58 - Purnama, Poktunggal Beach)
Lalu hari-hari sebelum ini ... ada yang menelusup ingin menetap di sela-sela hati. Tapi kubiarkan beterbangan, kubiarkan dulu sampai tepat waktu. Dan (lagi), untuk pertama kalinya aku bermalam di tepi pantai. Berbaur dengan garis cakrawala. Menikmati desir ombak di bawah purnama, memaknai angin malam sampai datang fajar dini hari. Ada petikan nada yang mendawai sampai ke hati. Ada lagu-lagu yang membuatku rindu cahaya terang padahal malam semestinya semakin petang. Aku yang merebahkan lelah tepat di bawah langit jingga yang tercipta dari semburat emas mahkota bulan, memandangi ujung langit yang ternyata tak punya tepian. Meresapi air garam yang jadi begitu manis saat menyentuh jemari kakiku. Melintasi tebing curam dan merekam segala kejadian di sana. Menghembuskan napas panjang, lalu kali ini kumainkan senyum kecil isyarat denganmu aku tenang. Betapa tanpa sebuah genggam pun aku merasa lekat di jarimu. Gulungan ombak yang menghanyutkan satu tempat untuk berpijak. Kau tahu mengapa mesti hilang terbawa arus? Sebab kau tak perlu keduanya, bukankah sudah kautemukan agar jadi sepasang? Seperti gunung, pantai jadi daratan yang penuh kenangan. Poktunggal.
23-26 Oktober 2013 (Sabtu, 26 Oktober 2013 - Kurangkum jadi satu; Personal Blog)
![]() |
23 Oktober 2013 |
Ada sebaris senyum yang berjejer lalu berganti tawa renyah setelah tatap yang saling mengikat. Ada suara-suara dalam baid puisi yang jadi latar tempatku bercerita. Lalu sesekali jadi hening, mungkin, aku bilang mungkin, terlintas tahunan yang lalu. Saat melakukan hal yang serupa, mungkin. Ah, kubuang jauh-jauh ia dalam kenanganmu. Kubantu hapuskan ia dari lini waktumu. Tak seberapa, pikiran itu hanya seperti ruang kecil yang kadang saja mencuri bunga khayalku. Kulanjutkan lagi mendengar kepayahanmu yang membuatku candu, yang sering jadi sebab pilu di hatiku. Sebab aku—yang terbiasa melakukan segalanya sendiri sejak dulu, bahkan meski saat ada yang selalu siap menolongku—sekarang, jadi tak mau lagi melakukan apapun jika tanpamu. Dasar, payah.
Jadi, ada apa lagi setelah hari ini? Selalu ada cerita dalam petak. Meski ada kisah yang pernah dilewati sebelum aku, sebelum kamu. Sebelum Oktober memelukku. Kupikir, sebaiknya bersamalah ia yang tak membuatmu menjadi dirimu yang lain. Jadilah kamu yang seperti itu, yang begitu saja....
Tentu saja, aku ketakutan setengah mati. Memulai bukan keahlianku. Tapi mengakhiri jadi sesuatu yang begitu lumrah keluar dari bibirku. Entah, aku yang salah atau hanya belum bertemu dengan yang sejati saja. Jadi, bagaimana mungkin aku tidak takut kalau-kalau semua hanya jadi luka. Jadi linglung saat semua kautanyakan padaku, harus kujawab dengan kalimat yang seperti apa. Tapi percayalah, siapa yang tak lelah terus-terusan ditemukan lalu dipisahkan kembali. Bisa, biarkan aku berhenti di sini saja? Aku juga bicara pada Tuhan, tolong, kakiku sudah tak bisa lagi mengikuti jejak-jejak yang tak bisa membuatku tenang. Sudah enggan menuliskan cinta baru, sudah tak ingin menyusun puisi dalam baid-baid yang selalu baru. Sudah cukup, akhiri sampai di sini saja, ya, Tuhan? Sebab sudah kudapati tenang dalam terang. Sudah enggan menggantinya dengan satuan lain. Sudah lelah bila harus menjalaninya dengan yang lain. Sudah kadung jatuh dan kubiarkan ia yang mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Tapi, aku membutuhkan satu restu dari-Mu. Kau pasti sudah hafal betul, berapa kali aku bilang ingin yang terakhir. Tapi selalu ada jarak dalam setiap jengkal, membuatku terjungkal. Jangan lagi, kali ini.
Bukankah ketika "cukup" kujadikan patokan maka segalanya bisa dibilang lengkap? Bukankah Kau melihatnya, ia memenuhi segalaku. Bukankah Kau pula yang membawaku—malam itu—menuju tempat yang tak pernah kurencanakan untuk kudatangi? Lalu terjadi pertemuan yang tak pernah kubayangkan, tak pernah ingin kutemui sebelumnya. Dan bukankah semestinya aku berhenti mencipta sajak kosong dalam maya....
Jadi? Bismillah saja, ya :)
![]() |
25 Oktober 2013 - saat matahari terbit |
Lalu kamu datang dengan membawa apa yang pernah terbesit dalam benakku. Sudah beberapa kali, aku berbicara begitu lirih di dalam hati, Tuhan seperti mengirimkan pesan untukmu lalu kamu datang kepadaku dengan apa yang kubisikkan di telingaku sendiri.
Wherever You Are - One Ok Rock
I’m telling you
I softly whisper
Tonight tonight
You are my angel
Tonight tonight
I just say…
Aishiteru yo
Futari wa hitotsu ni
Tonight … tonight…
I just say…
Wherever you are, I always make you smile
Wherever you are, I’m always by your side
Whatever you say, kimi wo omou kimochi
I promise you “forever” right now~
Sekali lagi, mungkin memang perlu berkali-kali kuulangi. Kumohon jadilah yang terakhir, jangan pernah biarkan semua cerita berakhir.
261013~Dan Oktober; sanggupkah membuatku bahagia selamanya?
Salam,
Fasih Radiana
5 komentar:
Aku kasih dua jempol untuk tulisan ini.
saya baru berlabuh di blog anda. kedepannya saya brharap bisa mampir ke sini lagi. salam kenal
Dalem banget mbg makna tulisan kamu, terharu . Tulisan yang baik, nice :)
bacaan ni bagus bgt...
indah
Post a Comment