Di sudutkan oleh waktu, tertusuk jarumnya yang meruncing, makin tajam menusuk tulang rusuk. Di sudut yang lain, arah pandang tidak lagi menyebar, satu titik saja. Ke dalam mataku sendiri, yang menjatuhkan cahaya tepat pada pusat retina. Lalu jemari mulai bergeming menyentuhkan ujungnya pada air yang jatuh tetes. Ini jauh lebih dari hampa, atau bosan yang mengelilingi pergeseran matahari.
Apa kamu juga? Pernah merasakan mual karena sepi yang menyesakkan hela nafasmu? Menyisakan perih di sisi paling tepi, di ujung koridor hati. Ah. Aku rindu selarik senyum yang biasa jadi suguhan yang menenangkan. Aku merindu angin yang berbisik mengabarkan, tentang cinta atau bahagia yang jadi sandingannya. Apa boleh aku merasakannya, sekali lagi yang tanpa akhiran? Tuhan, apa kurang tangisku tempo hari? Apa kurang?
Lihat! Lampu itu seperti tampak lelah, mungkin selagu dengan gelisahku. Sama? Apa iya? Tak melakukan pergerakan, di situ sampai tak punya daya, lalu di buang, di tepikan. Datar tanpa ekspresi. Apa seirama dengan detak jantungku? Bernada sumbang, membosankan.
Aku masih menunggu dekap Tuhan, menunggu sampai datang memeluk tangisku. Tubuhku kaku, ingin rasanya diam saja. Diam untuk waktu yang lama. Aku lelah, sudah berulang kali aku katakan, aku sangat lelah. Istirahat? Aku tau, semua juga menyuruhku begitu. Tapi istirahat yang bagaimana? Berapa lama sampai lelahnya hilang. Atau harus menunggu aku mati bunuh diri dulu?
2 komentar:
fotonys menakutkan -__-
kaya kamu-___-
Post a Comment