Tak kukira untuk menemuimu akan jadi hal yang paling berliku. Sedang aku telah mencanangkannya sejak tahunan lalu saat digit angka di depan ekornya berinisial satu. Tak kurasa bintang jatuh terlalu lambat tiba dengan gerak yang terlampau cepat. Tak kutahu, siapa sebenarnya ia.
Kau. Perlukah untuk dihitung untung dan ruginya? Sanggupkah aku sesekali berubah menjadi akuntan yang siaga kala semestinya aku bermain-main dengan kata. Sedang bianglala tak pernah bersedia berhenti di putaran yang sama, ia selalu kalah dengan angin yang berganti lajur keloknya. Kini bukankah sudah memasuki musim hujan gersang? Terlalu pongah untuk berkata aku sudah lelah, tapi rangah terlalu kuat mengikat jengah. Kau. Mengapa tak juga menampakkan diri menjadi yang tak hanya tabah, tetapi juga sah. Siapa sebenarnya ia, ditunjuk untuk merobohkan keanggunan dalam polaritas yang membingungkan.
Kalau saja rangka bisa dirangkai ulang, aku pasti sudah alih bentuk mengonversi jati diri. Sebab keabsolutannya terlalu teguh untuk jadi seorang wanita lemah lembut. Pengukuhan resistansi atas suatu tindak yang tidak juga diakui, barangkali memaksa takdir mengulur waktu. Untuk memberitahu komplemen jempolan tidak begitu saja disetujui dengan mudah, ia dituntut betah berlama-lama dalam amarah yang ternyata bisa berfungsi sebagai trampolin.
more quotes www.fasihrdn.tumblr.com | tweet me @fasihrdn |
Lalu bagaimana bila urusan memilah jadi semakin runyam hanya karena jarum jam tak juga datang? Sedang seorang koleris tak pernah punya kuasa untuk menunggu. Ia terlalu dinamis, berbanding terbalik dengan si pecinta damai yang lamban dalam gerak. Sisi melankolisku tak kan cukup mampu mengapresiasi bab lelucon yang sering dilontar saat tak tepat waktu. Bukankah jurangnya terlalu dalam dan kakiku terlalu pendek untuk meloncat ke sana, pun tubuhnya tak cukup jenjang untuk melompat kemari. Kecuali kami cukup berani untuk beradu di titik tumpu, di tengah-tengah arus sungai yang bila tak punya cukup perhitungan, maka habislah segala.
Atau lebih baik untuk mundur sekarang juga, tidakkah terlalu pengecut untuk berbalik badan. Bukankah begitu jejap memuntahkan apa yang sudah dilumat cukup lama? Mau sampai kapan membiarkan resesi berkeliaran padahal aku tidak sedang berdagang. Adakah jalan pintas bagiku untuk pulang sebagai pemenang dan kau pun kembali dengan tenang. Mengikhlaskan tapak demi tapaknya berdecat melalui dua gang bertolak belakang. Entah dengan sendirian, atau bersama-sama.
Kita lihat saja, doa siapa yang cukup kuat untuk lebih dulu sampai ke langit.
1 komentar:
ini cerpen tapi puitis sekali
Post a Comment