Pernah kau mau tahu seberapa sesak dadaku dijejal gumpalan-gumpalan yang membesar perlahan. Tanpa pengakuan, aku merasa kamu hilang membayang. Mengejawantah jadi petang. Atau jangan-jangan dijumput masa silam.
Lalu dengan itu aku tak pernah merasa tenang.
Tapi mati-matian kupendam.
Mati-matian kutahan.
Mati-matian kutendang.
Apa kiranya yang melekati tubuhmu sampai aku pandai mengecup ucapmu dengan kata serupa. Entah. Apa sebenarnya yang merekati lakumu sampai aku lihai memeluk rindumu dalam pilu. Entahlah, Sayang. Atau barangkali kau sedang asyik melarut dalam lirikmu, berpuisi dengan masa lalu.
Lalu karena itu aku selalu merasa lengang.
Tapi mati-matian kupendam.
Mati-matian kutahan.
Mati-matian kutendang.
Senja sore tadi jadi saksi. Bahwa tak selamanya sebelum mata bertemu malam, cakrawala membalut diri dengan selendang jingganya. Senja sore tadi jadi bukti. Ternyata bukan kau yang kucintai, Sayang. Bukan kau yang membuatku betah berlama-lama menjuntai kaki sendiri, menanti keterlembatanmu untuk datang. Tapi semuamu meski semaumu.
Lalu sebab itu aku ingin menjaga seluruhmu dengan segalaku.
Tapi mati-matian kau abaikan.
Mati-matian kau acuhkan.
Mati-matian kau hancurkan.
Demi apa, demi siapa. Entah.
161014: 23.54~Biar air mata memekat di ujung telinga, aku tetap menunjukmu dengan sempurna. Sebab kecewa tak pernah jadi alasan untuk memilih yang lainnya.
0 komentar:
Post a Comment